Mengapa Takut Nikah?

telat nikah, iptn ikatan pemuda telat nikah, tips mengatasi telat nikah, buat yang ngerasa telat nikah, telat menikah
Mengapa takut menikah? Banyak orang takut menikah karena beragam alasan. Padahal, justru dengan menikah bermacam permasalahan tersebut akan tuntas.

Sebut saja namanya Kurniawan (33 th). Hampir empat tahun ia bekerja di sebuah penerbitan di kawasan Jakarta. Penghasilan perbulannya cukup lumayan untuk biaya hidup di Ibukota. Namun, kemampuan ekonomi dan usia seperti itu, belum mengetuk hatinya untuk mengakhiri masa lajangnya. Ia tetap memilih hidup sendiri, membujang. Alasannya, ‘Pernikahan itu harus diurus. Kalau semuanya belum siap bisa menimbulkan penderitaan baru. Nggak bisa nyekolahin anak, nggak bisa hidup layak, nggak bisa punya rumah.’


Lain lagi dengan Linda, seorang mahasiswi S2 UI yang berusia 29 tahun. Ketika ditanya tentang keterlambatannya menikah, sedikit bingung ia menjawab (jawaban klasiknya), ‘Belum dikasih (jodoh, red).’ Tapi, kadang kala kita punya idealisme namun berbenturan dengan kenyataan yang ada. Dengan kata lain, kriteria yang datang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan. Inilah yang membuat orang menunda-nunda pernikahan.

“Saya merasa banyak obsesi yang belum tercapai,” jawab Sahrul Gunawan (26 th), pemeran Gunawan dalam Sinetron Pernikahan Dini, saat ditanya mengapa ia belum menikah. Padahal, orang tuanya yang tergolong menikah di usia muda - saat menikah ayahnya 22 th dan ibunya 19 th - selalu menyuruhnya untuk menikah. “Saya sih merencanakan umur 29 atau 30 untuk menikah,” ujar Sahrul.

Jika ditanya alasan terlambat menikah, tentu bisa muncul beribu dalih. Tapi, alasan yang paling banyak dijadikan kambing hitam adalah kekhawatiran tidak mampu menanggung beban (baca: ekonomi) keluarga.

Ini wajar. Namun, menurut Nursanita Nasution, Ketua DPP Partai Keadilan Bidang Kewanitaan,
kekhawatiran itu kadang kala berlebihan. “Kadang- kadang orang terlalu banyak alasan,” ujarnya. Ia menambahkan, mereka yang mengemukakan alasan-alasan itu hanya mau lari dari permasalahan.

“Jadi, tidak boleh terlalu mikir, saya harus punya uang sekian dulu (baru menikah, red). Atau saya punya beban keluarga, mau menghajikan ibu, mau menyekolahkan adik dulu. Itu bukan tanggung jawab dia,” Nursanita menegaskan.

Herlini Amran, MA, seorang dosen PGTK Bina Insan Kamil mengandaikan, kalau seseorang merasa khawatir tidak mampu mencukupi nafkah keluarganya jika menikah, maka perlu dilihat mengapa ia khawatir. “Burung saja kalau keluar dari sarangnya, bisa mencari rezeki. Masa’ manusia yang mempunyai akal, tidak bisa,” ujarnya.

Mohammad Fauzil Adhim justru melihat lebih jauh. Menurut penulis yang sudah banyak menelurkan buku tentang pernikahan ini, menjamurnya para bujangan yang berpendapat bahwa menikah harus kerja lebih dahulu, adalah korban kapitalisme. Karenanya, paradigma ketidakmampuan dalam hal ekonomi yang saat ini berkembang di masyarakat harus diubah. “Selama ini, kematangan diidentikkan dengan: punya rumah, kendaraan, gaji tetap dan sebagainya. Mestinya nggak begitu,” ujar Herlini Amran. Menurut lulusan S2 Bidang Islamic Studies di Salafiyah University di Faishal Abad, Pakistan ini, selama seseorang mempunyai etos yang tinggi, dan memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah, sebenarnya ia sudah sanggup untuk menikah.

Apalagi mereka yang sudah mempunyai kemampuan biologis dan bisa mencari nafkah serta dikhawatirkan terjerumus ke perbuatan zina kalau tidak menikah, maka “Haram baginya membujang,” ujar Herlini menambahkan. Dalam fiqih Islam, hukum pernikahan ada yang wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah sesuai dengan keadaan yang bersangkutan.

Ketika salah seorang sahabat bernama Ukaf bin Wida’ah al-Hilali menemui Rasulullah saw dan
mengatakan, bahwa ia belum menikah, beliau bertanya, “Apakah engkau sehat dan mampu?” Ukaf menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan. Atau engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani dan engkau bagian dari mereka. Atau engkau termasuk bagian dari kami, maka lakukanlah seperti yang kami lakukan, dan termasuk sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk di antara kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang.” Kemudian, Rasulullah saw menikahkannya dengan Kultsum al-Khumairi (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah).

Seperti disabdakan Rasulullah saw, mereka yang betah membujang, dikhawatirkan akan terjerumus ke beberapa kemungkinan. Pertama, menjadi teman setan karena ia senang menyimpang dari fitrah manusia sesungguhnya. Kedua, termasuk pendeta Nasrani yang mengganggap dirinya suci dan menjadi kekasih Allah jika tidak mendekati perempuan. Menurut mereka, perempuan membuka pintu bagi setan untuk menggoda laki-laki. Ketiga, termasuk orang yang durhaka karena mendustai tuntutan biologisnya yang penyalurannya telah diatur Allah melalui pernikahan. Keempat, termasuk orang yang matinya paling hina karena telah memutuskan peluang mendapatkan keturunan shalih yang akan membuahkan pahala tak terputus baginya.

Kalau kita tilik ulama salaf, sungguh pengamalan mereka terhadap sunnah Rasulullah saw ini, sangat tinggi. Dalam suatu kesempatan Imam Malik pernah berkata, “Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan istri saya sudah meninggal, saya akan segera menikah.” Demikian rasa takut pengarang kitab al-Muwatha’ ini kepada Allah kalau ia meninggal dalam keadaan membujang (30 Pertunjuk Pernikahan dalam Islam, Drs. M. Thalib).

Karenanya, Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah menyimpulkan, seandainya seseorang sudah mampu nikah, dan dikhawatirkan akan terjerumus kepada perbuatan jahat kalau tidak menikah, sementara pada saat yang sama, ia juga sudah memenuhi kriteria wajib haji, maka ia harus mendahulukan nikah atas haji. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi Dar ul mafaasidi muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih. Yaitu, menghindari bahaya, harus didahulukan daripada memperoleh keuntungan.

Sebaliknya, para muslimah hendaknya tidak mempersulit pernikahan, dengan memasang ‘tarif’ mahal atau target tinggi. Yang menjadi ukuran, selayaknya bukan kekayaan materi, tapi agama dan akhlak. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw mengingatkan kepada para orang tua gadis, “Jika datang seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, hendaklah kamu nikahkan dia. Kalau kamu tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas,” (HR Turmudzi dan Ahmad).

Kalau para muslimah mengabaikan hal ini, seperti diingatkan Rasulullah saw, fitnah dan kerusakan akan terjadi. Para wanita yang berada di bawah kendali suami yang berakhlak buruk, besar kemungkinan akan larut dalam keburukan juga. Sebaliknya, dengan memilih calon suami yang baik, semuanya akan berbuah kebaikan. Bukan hanya bagi sang istri, tapi juga keturunannya.

Untuk itu, Nursanita memberikan beberapa kiat bagi mereka yang masih ‘sendiri’. Pertama, kalau ingin cepat dapat jodoh, perbanyak sedekah. Kedua, kalau sudah ada kecenderungan terhadap seseorang, lakukan shalat Istikharah. Ketiga, harus introspeksi diri. Keempat, yang harus mengambil keputusan itu, dirinya, bukan orang lain.

Lagi pula, mengapa harus takut menikah? Bukankah Allah telah berjanji akan membantu hamba-Nya yang berniat menyempurnakan agamanya. Allah berfirman, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki, dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mencukupkannya dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui,” (QS an-Nuur: 32).

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini merupakan janji Allah kepada orang yang menikah. Mereka akan dicukupkan rezekinya setelah ia menikah walaupun sebelumnya miskin. Diriwayatkan dari al-Laits, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga golongan orang yang menjadi keharusan Allah untuk membantu mereka; orang yang menikah untuk memelihara kesucian diri, budak yang hendak membayar kemerdekaan dirinya, dan orang-orang yang berperang di jalan Allah,” (HR Ahmad, Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Subhanallah! Betapa mulia orang yang ingin menikah. Mereka disejajarkan Rasulullah saw dengan mujahid fi sabilillah yang dijanjikan akan mendapat pertolongan-Nya. Lalu, tunggu apa lagi? Menikah, yuk! Oleh: Hepi Andi, Majalah Sabili edisi 02/08/2002.

Tags yang terkait dengan telat nikah, iptn ikatan pemuda telat nikah, tips mengatasi telat nikah, buat yang ngerasa telat nikah, telat menikah, telat 1 minggu, hukum nikah, rukun nikah, hukum nikah dalam islam, hukum nikah siri, hukum nikah mut'ah dalam islam, hukum nikah kontrak, hukum nikah ketika hamil, hukum nikah di siam, hukum nikah gantung dalam islam.