Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah
adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling
kasih-sayang (rahmah). Dengan
begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga
secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu
masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana
mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa
ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar
para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya,
dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para
wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi
sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya
sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian
dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah
nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah
habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam
nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika
si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan
tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam
nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah
mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini
haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk
mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan
anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan
pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam,
tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah
mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua
kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika
perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau
hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena
ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat
yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa
peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan
keringanan (rukhshah) bagi para
sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat
Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri,
sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa
sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling
populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam
kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah
ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat.
Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan
kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna
lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya
tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat,
sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan
dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam
keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging
babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka
hukumnya menjadi boleh”.
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah
kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar
hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali
r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap
shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat
Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah
mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu
Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin
Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih
mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa
yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim,
Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum
haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam
melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan
nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis
nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa
jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah
(batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah
dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh
rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah
pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dalam Islam pernikahan selain harus ada wali
juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang
menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi
bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan.
Saksi ini penting,
karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling
mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di
kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan
semakin kuat, karena ada banyak saksi.
Ketentuan ini tentu tidak berlaku
terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan
telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara
kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak
mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal.
Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya
sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Tags yang terkait dengan
nikah mutah: nikah mut'ah halal, nikah mut'ah haram, nikah mutah download,
nikah mutah software, syarat nikah mutah, pengertian nikah mutah, ocehan vikar
nikah mutah, fatwa nikah mutah.